kita akan membahas tempat-tempat yang disyari’atkan untuk bertakbir, diantaranya adalah:
Takbir pada hari raya dan lafadznya yang shahih.
Kapan memulai takbir di hari raya ‘iedul fithri.
Para ulama berbeda pendapat, kapan dimulai takbir pada hari raya ‘iedul fithri? Sebagian ulama berpendapat bahwa takbir dimulai dari sempurnanya jumlah bulan ramadlan, baik dengan melihat hilal, atau menyempurnakan jumlah bulan, sampai imam keluar menuju shalat, dan ini adalah pendapat imam Asy Syafi’i dan lainnya, beliau berkata dalam kitab Al Umm[1]: “Apabila mereka telah melihat hilal, aku suka agar manusia bertakbir, baik secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri, di masjid, di pasar, di jalan-jalan, di rumah, baik musafir atau muqim, di setiap keadaan dan di mana saja, dan mereka mengeraskan takbirnya, dan mereka terus bertakbir sampai menuju tempat shalat, sampai keluarnya imam untuk takbir, kemudian berhenti bertakbir”.
Dan pendapat ini di rajihkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau berkata: “Dan takbir (‘iedul fithr) dimulai dari semenjak terlihatnya hilal, dan diakhiri dengan selesainya (shalat) ‘ied, yaitu selesainya imam dari khutbah atas pendapat yang shahih”.[2]
Dalil pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala:
(#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
“dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (Al Baqarah: 185).
Imam Al Mawardi berkata: “Allah memerintahkan bertakbir setelah menyempurnakan puasa, dan itu terjadi ketika matahari tenggelam di malam satu syawwal, maka ini berkonsekwensi bahwa awal waktu takbir adalah di malam tersebut”.[3]
Namun pendalilan dengan ayat ini lemah, karena wawu tidak menunjukkan tertib, imam an Nawawi berkata: “Pendalilan (dengan ayat) ini tidak benar kecuali atas pendapat yang mengatakan bahwa wawu mempunyai makna tertib, namun ini adalah pendapat yang batil”. (Al majmu’ 5/41).
Sementara imam Malik, imam Ahmad, Al Auza’i dan Ishaq berpendapat bahwa takbir ‘iedul fithri dimulai di pagi hari ‘iedul fithr, mereka berhujjah dengan hadits ibnu Umar radliyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ فِي الْعِيْدَيْنِ مَعَ الفَضْلِ بْنِ العَبَّاسِ وَعَبْدِ اللهِ وَالعَبَّاسِ وَعَلِيٍّ وَجَعْفَرَ وَالْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَزَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَأَيْمَنَ بْنِ أُمِّ أَيْمَنَ رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ، فَيَأْخُذُ طَرِيقَ الْحَدَّادِينَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، فَإِذَا فَرَغَ رَجَعَ عَلَى الْحَذائِينَ حَتَّى يَأْتِيَ مَنْزِلَهُ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar di dua ‘ied bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, Abdullah bin Abbas, Al ‘Abbas, Ali, Ja’far, Al Hasan dan Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah dan Aiman bin Ummi Aiman dengan mengeraskan suara mengucapkan tahlil dan takbir, beliau mengambil jalan Al Haddadin hingga sampai lapangan tempat shalat, apabila telah selesai beliau kembali dari jalan Al hadzain hingga sampai rumahnya”. (HR ibnu Khuzaimah).
Namun di dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah yang bernama Abdullah bin Umar al ‘Umari, akan tetapi hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Bani rahimahullah, karena dikuatkan oleh mursal Az Zuhri bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada hari ‘iedul fithri bertakbir sampai mendatangi tempat shalat dan sampai selesai shalat, apabila telah selesai shalat, beliau menghentikan takbir. Dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah (no 5620).
Namun bila kita perhatikan, mursal Az Zuhri ini tidak dapat menguatkan riwayat diatas, karena ia berasal dari periwayatan ibnu Abi Dziib dari Az Zuhri, Yahya bin ma’in menganggapnya lemah, beliau berkata: “Mereka melemahkan dia (ibnu Abi Dziib) dalam riwayatnya dari Az Zuhri”. (Syarah ‘ilal at Tirmidzi 2/673).
Dan yang menunjukkan kelemahannya juga, hadits ini diriwayatkan dengan wajah yang berbeda, terkadang di marfu’kan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terkadang dinisbatkan kepada orang-orang, dan terkadang dinisbatkan kepada perkataan az Zuhri, sehingga terjadi keguncangan. Wallahu a’lam.[4]
Jadi, dalil pendapat ini juga lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Namun bila kita melihat dari praktek salafushalih dalam riwayat-riwayat yang shahih, menunjukkan bahwa mereka memulai takbir dari semenjak keluar rumah sampai selesai shalat, seperti atsar ibnu Umar. Dan ini yang penulis condong kepadanya, namun kita pun tidak menganggap sesat orang yang melakukan takbir di malam hari, karena tidak adanya nash dalam masalah ini. Wallahu a’lam.
Takbir di hari raya ‘iedul adlha.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Pendapat yang paling benar mengenai takbir (‘iedul adlha) yang merupakan pendapat jumhur salaf, dan para fuqaha dari kalangan shahabat dan para imam; bertakbir dari fajar hari ‘Arafah sampai akhir hari tasyriq”.[5]
Syaikh Al AlBani rahimahullah berkata: “Telah shahih dari Ali radliyallahu ‘anhu bahwa beliau bertakbir setelah shalat fajar di hari ‘Arafah sampai shalat ‘Ashar di akhir hari tasyriq, dan beliau bertakbir setelah ‘Ashar”. Dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah (2/1/2) dari dua jalan salah satunya jayyid, dari dari jalan ini juga al Baihaqi meriwayatkan (3/314), kemudian beliau meriwayatkan dari ibnu Abbas semisal dengannya dan sanadnya shahih, dal Al hakim (1/300) meriwayatkan darinya dan dari ibnu Mas’ud yang semisal juga”.[6]
Adapun hadits Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat shubuh pada hari ‘Arafah kemudian menghadapkan wajahnya kepada kami, dan bersabda: “Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaaha Illallahu wallahu Akbar, Allahu Akbar walillaahil Hamd dan beliau bertakbir dari semenjak pagi hari ‘Arafah sampai shalat ‘Ashar akhir hari tasyriq”. Adalah hadits yang sangat lemah, dikeluarkan oleh Ad Daraquthni (2/50 no 29) dari jalan Amru bin Syamr dari Jabir dari Abu Ja’far dan Abdurrahman bin Sabith dari Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu.
Amru bin Syamr ini sangat lemah, bahkan Al Hakim Abu Abdillah berkata: “Ia banyak meriwayatkan hadits-hadits palsu dari Jabir Al Ju’fi”. As Sulaimani berkata: “Ia suka memalsukan hadits untuk (membela) rafidlah”. Ibnu Hibban berkata: “Rafidli yang suka mencaci maki para shahabat, dan suka meriwayat hadits-hadits palsu dari para perawi tsiqat”.[7] Dan di dalam sanadnya juga terdapat Jabir Al Ju’fi, Al Hafidz ibnu Hajar berkata dalam taqribnya: “Dla’if orang Rafidlah”.
Memang tidak ada hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan waktu bertakbir pada ‘iedul adlha, namun perbuatan para shahabat menunjukkan kepada hal ini, bahkan itu adalah pendapat jumhur ulama salaf sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam tadi.
Lafadz takbir hari raya yang shahih.
Tidak ada satupun hadits marfu’ yang shahih tentang lafadz-lafadz takbir, akan tetapi telah ada dari ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
“Allah Maha Besar 2x, tidak ada ilah yang berhak untuk disembah kecuali Dia, dan Allah Maha Besar, dan bagi Allah segala puji”.
Dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (2/165 no 5679) dengan sanad yang shahih.
Adapun ibnu Abbas, beliau bertakbir:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا, اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا, اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
“Allah Yang paling besar dari semua yang besar 2x Allah yang paling besar dan paling agung, Allah yang Maha besar dan baginya segala puji”. Dikeluarkan oleh ibnu Abu Syaibah dalam mushannafnya (2/168 no 5701).
Syaikh Al Bani rahimahullah berkata: “Dan telah tsabit pengucapan takbir dua kali dari ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, akan tetapi ia menyebutkan di tempat lain dengan tiga kali takbir, demikian pula al Baihaqi meriwayatkan (3/315) dari Yahya bin Sa’id dari Al Hakam bin Farukh Abu Bakkaar dari ‘Ikrimah dari ibnu Abbas dengan tiga kali takbir, dan sanadnya juga shahih. Akan tetapi ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalan ini dengan lafadz:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا, اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا, اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
Dan Al Muhamili meriwayatkan dalam kitab shalat ‘iedain (2/143/1) dari jalan lain dari ‘Ikrimah dengan lafadz:
اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَل , اللَّهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
Ia mengakhirkan dan menambah, dan sanadnya shahih. Dan ia pun meriwayatkan atsar ibnu Mas’ud dari jalan lain dengan dua kali takbir, dan itulah yang ma’ruf dari ibnu Mas’ud”.[8]
Adapun tambahan-tambahan yang diada-adakan oleh banyak kaum muslimin di zaman ini, maka semua itu tidak ada asalnya dan di ada-adakan, Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Telah diada-adakan di zaman ini tambahan melebihi itu sesuatu yang tidak ada asalnya”.[9]
Diantara tambahan yang diadakan di zaman ini adalah:
الله أَكْبَرُ كَبِيرًا ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا ، وُسْبَحانَ الله بُكْرَةً وَأَصِيلاً لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ ، وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Ini adalah dua dzikir yang dijadikan satu, yang pertama sampai: …bukrotawa ashiila, adalah do’a istiftah, dan yang kedua: dari Laa ilaa illallahu wahdahu..dst adalah dzikir yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bukit shofa dan marwah ketika sa’i, namun dua dzikir ini dijadikan satu dan dibaca pada saat dua hari raya, ini adalah penempatan dzikir yang bukan pada tempatnya, dan tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula para shahabat, tidak juga tabi’in dan para ulama setelahnya, kalaulah itu baik, tentu mereka telah lebih dahulu melakukannya.
2. Takbir dalam shalat hari Raya.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُكَبِّرُ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى فِى الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ وَفِى الثَّانِيَةِ خَمْسًا.
“Dari Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir di sholat ‘iedul fithr dan Adlha di rakaat pertama tujuh kali dan di raka’at kedua lima kali.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani).[10]
Hadits ini adalah hujjah imam Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad dan inilah pendapat yang shahih. Namun apakah tujuh takbir di raka’at pertama termasuk padanya takbirotul ihram atau tidak? Imam Malik dan Ahmad berpendapat masuk berdasarkan keumuman hadits tersebut. Sedangkan imam Asy Syafi’i berpendapat bahwa tujuh takbir itu selain takbirotul ihram. Alasan beliau adalah bahwa sebagaimana lima takbir di raka’at kedua tidak masuk padanya takbir berdiri menuju raka’at kedua, demikian pula takbirotul ihram.
Pendapat imam Asy Syafi’i ini lebih kuat karena dikuatkan oleh riwayat Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Abdullah bin Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir tujuh kali di raka’at pertama dan lima kali di raka’at kedua selain takbirotul ihram. Diriwayatkan oleh Ad Daraquthni dan lainnya, walaupun di dalam sanadnya adalah Abdullah bin Abdurrahman Ath Thaifi, namun hadits Abdullah bin Amru ini dishahihkan oleh Al Bukhari, Ali bin Al Madini dan Imam Ahmad rahimahumullah.
3. Takbir dalam khutbah hari raya (tidak sunnah).
Sebuah hadits yang lemah yang diriwayatkan oleh ibnu Majah:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ بَيْنَ أَضْعَافِ الْخُطْبَةِ يُكْثِرُ التَّكْبِيرَ فِي خُطْبَةِ الْعِيدَيْنِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir di sela-sela khutbah (hari raya) memperbanyak takbir dalam khutbah dua hari raya.” (HR Ibnu majah).
Ini adalah hadits yang lemah karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Abdurrahman bin Sa’ad yang meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya. Abdurrahman lemah, sedangkan ayah dan kakeknya majhul. Maka tidak disunnahkan menyela-nyelai takbir dalam khutbah hari raya sebagaimana yang kita lihat di zaman ini.
4. Takbir dalam adzan dan iqamah.
Di sebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid radliyallahu ‘anhu beliau berkata:
لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلاَةِ طَافَ بِى وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِى يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلاَةِ. قَالَ أَفَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى. قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّى غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلاَةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ « إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلاَلٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ ». فَقُمْتُ مَعَ بِلاَلٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ – قَالَ – فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِى بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَلِلَّهِ الْحَمْدُ ».
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh untuk memukul lonceng untuk memanggil manusia agar berkumpul untuk shalat, aku bermimpi melihat seseorang mengelilingiku sambil membawa lonceng di tangannya. Aku berkata, “Hai fulan, apakah kam mau menjual lonceng itu?” ia berkata, “Apa yang hendak kamu lakukan dengannya?” Aku menjawab, “Untuk memanggil manusia agar sholat.” Ia berkata, “Maukah aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu?” aku berkata, “Mau.” Ia berkata, “Ucapkan: Allahu Akbar Allahu Akbar. Allahu Akbar Allahu Akbar. Asyhadu an laa ilaaha illallah. Asyhadu an laa ilaaha illallah. Asyhadu anna Muhammadan rosulullah. Asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Hayaa ‘alasholaah. Hayya ‘alasholaah. Hayya ‘alal falaah. Hayya ‘alal falaah. Allahu Akbar Allahu Akbar. Laa ilaaha illallah.
Kemudian ia mundur dariku tak jauh dan berkata, “Apabila kamu hendak mendirikan shalat ucapkan: Allahu Akbar Allahu Akbar. Asyhadu an laa ilaaha illallah. Asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Hayaa ‘alasholaah. Hayya ‘alal falaah. Qod qoomatisholaah. Qod qoomatisholaah. Allahu Akbar Allahu Akbar. Laa ilaaha illallah.
Di pagi harinya aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan mimpiku tersebut. Beliau bersabda, “Ia adalah mimpi yang benar in-sya Allah, berdirilah bersama Bilal dan ajarkan kepadanya yang kamu lihat dalam mimpimu agar ia adzan dengannya, karena ia lebih lantang suaranya darimu.” Akupun berdiri bersama Bilal dan mengajarkan kepadanya dan Bilalpun beradzan dengannya.
Rupanya Umar yang sedang berada di rumahnya mendengar adzan Bilal, iapun segera bergegas keluar sambil menyeret kainnya dan berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran wahai Rasulullah, akupun bermimpi seperti apa yang ia lihat”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Segala puji bagi Allah”. (HR Abu Dawud. Syaikh Al AlBani berkata, “Hasan shahih”.)
Hadits ini menunjukkan bahwa pengucapan Allahu Akbar Allahu Akbar dijadikan satu, tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian muadzin yang mengucapakannya satu persatu.
5. Takbir di dalam shalat.
Takbir yang hukumnya rukun hanyalah takbirotul ihram saja sebagaimana hadits:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُوْرُ وَ تَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَ تَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ
“Kunci sholat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah mengucapkan salam.” (HR Abu Dawud).[11]
Adapun takbir untuk perpindahan atau yang disebut dengan takbir intiqol tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam.
6. Takbir setelah shalat.
Takbir setelah shalat adalah dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Barang siapa yang bertasbih di belakang setiap sholat 33x dan bertahmid 33x dan bertakbir 33x maka itu adalah 99 dan ia berkata pada jumlah ke seratusnya: “Laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariika lahu lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syain qodiir.” Maka akan diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih dilautan.” (HR Muslim).
Namun para ulama berbeda pendapat, apakah dzikir setelah sholat itu di keraskan atau disirrkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang sunnah adalah dikeraskan, berdasarkan hadits ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ.
“Dari ibnu Abbas ia berkata, “Dahulu kami mengetahui selesainya sholat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir.” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. وَأَنَّهُ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.
“Sesungguhnya mengangkat suara dengan dzikir setelah manusia selesai melaksanakan sholat fardlu ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya sholat mereka apabila aku mendengar suara.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa berdzikir setelah sholat hendaknya disirrkan berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan kita untuk berdzikir secara lirih:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
“Dan berdzikirlah (mengingat) Rabbmu pada dirimu dengan penuh ketundukkan dan rasa takut dan suara yang tidak keras.” (QS Al A’raaf: 205).
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka menjawab hadits ibnu Abbas di atas bahwa hadits itu adalah dalam rangka ta’lim (mengajarkan) dzikir-dzikir setelah shalat[12]. Ibnu Bathal rahimahullah berkata, “Perkataan ibnu Abbas, “Sesungguhnya mengangkat suara dengan dzikir setelah manusia selesai melaksanakan sholat fardlu ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan di zaman shahabat ketika ibnu Abbas menceritakan ini. Sebab kalaulah perbuatan tersebut dilakukan di zaman shahabat tentunya perkataan ibnu Abbas, “…ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” tidak mempunya makna. Ini sama halnya dengan perbuatan Abu Hurairah yang bertakbir pada setiap turun dan naik, dan berkata, “Aku adalah orang yang paling serupa shalatnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Padahal perbuatan tersebut tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara terus menerus sepanjang hidupnya. Lalu para shahabat memahami bahwa perbuatan itu bukan sesuatu yang dilakukan terus menerus. Maka merekapun meninggalkannya karena ada kekhawatiran akan disangka oleh orang yang kurang ilmunya bahwa perbuatan itu adalah syarat sah shalat. Oleh karena itu sebagian fuqoha memakruhkannya. Dan diriwayatkan dari Abiidah bahwa ia menganggapnya bid’ah.”[13]
7. Takbir di shalat janazah.
Dalam shalat janazah yang sering dilakukan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah empat kali takbir.
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَحَدَّثَنِى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَفَّ بِهِمْ بِالْمُصَلَّى فَصَلَّى فَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ.
“Ibnu Syihab berkata, “Bercerita kepadaku Sa’id bin Al Musayyib bahwa Abu Hurairah bercerita, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bershaff dengan mereka di mushalla[14], maka beliau sholat dan bertakbir empat kali.” (HR Muslim).
Namun boleh sekali-kali lima kali takbir, berdasarkan hadits Abdurrahman bin Abi Laila ia berkata:
كَانَ زَيْدٌ يُكَبِّرُ عَلَى جَنَائِزِنَا أَرْبَعًا وَإِنَّهُ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ خَمْسًا فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُكَبِّرُهَا.
“Zaid biasanya bertakbir untuk jenazah kami empat kali takbir. Dan sesungguhnya ia pernah bertakbir untuk suatu jenazah lima kali takbir. Lalu aku bertanya kepadanya, ia berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.” (HR Muslim).
Dan boleh sampai sembilan kali takbir. Berdasarkan hadits Abdullah bin Az Zubair bahwa Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam pernah menshalatkan Hamzah dengan sembilan kali takbir.” (HR Ath Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar).[15]
8. Takbir ketika menyembelih hewan.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya (3/56 no 2812):
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».
“Dari Jabir bin Abdillah ia berkata, “Aku menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat ‘Iedul Adlha di lapangan. Setelah selesai berkhutbah, beliau turun dari mimbarnya dan dibawakan kambing, lalu Rasulullah menyembelih dengan tangannya sendiri dan mengucapkan, “Bismillah wallahu Akbar ini untukku dan untuk yang belum berudlhiyyah dari umatku.”[16]
9. Takbir ketika melewati tempat tinggi.
Berdasarkan hadits Jabir radliyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَإِذَا تَصَوَّبْنَا سَبَّحْنَا
“Dahulu apabila naik kami bertakbir, dan apabila turun kami bertasbih.” (HR Al Bukhari).
Dan berdasarkan hadits ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma:
وَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوُا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukannya apabila menaiki bukit bertakbir dan apabila turun mereka bertasbih.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani).
Masuk dalam makna naik di sini bila kita menaiki tangga, atau lift dan sebagainya.
10. Takbir dalam thawaf.
Berdasarkan hadits ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَافَ بِالْبَيْتِ وَهُوَ عَلَى بَعِيرٍ ، كُلَّمَا أَتَى عَلَى الرُّكْنِ ، أَشَارَ إِلَيْهِ بِشَيْءٍ فِي يَدِهِ وَكَبَّرَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam thawaf di Ka’bah di atas untanya. Setiap kali melewati rukun (hajar aswad), beliau berisyarat kepadanya dengan sesuatu dan bertakbir.” (HR Al Bukhari).
[1] Al Umm 2/486 tahqiq DR Rif’at Faura. [2] Majmu’ fatawa 24/221. [3] Al Haawi 2/484. [4] Lihat Tanwiirul ‘ainain hal 73, karya Syaikh Abul Hasan Al Ma’ribi. [5] Majmu’ fatawa 24/220. [6] Irwa’ul Ghalil 3/125. [7] Lisanul Mizan 5/354-355. [8] Irwa-ul Ghalil 3/125-126. [9] Fathul Baari 2/462. [10] Diriwayatkan juga dari jalan Abdullah bin Amru yang shahihkan oleh Al Bukhari, Ali bin Al Madiini dan imam Ahmad. (Talkhisul Habiir 2/171). [11] Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Shahih Jami’ no shahih Sunan Abi Dawud no 55. [12] lihat syarah Al Muhadzab karya imam An nawawi rahimahullah 5/84. [13] Syarah shahih Al Bukhari karya ibnu Bathal 2/458. [14] Yaitu tempat khusus untuk menshalatkan jenazah yang terletak di samping masjid. [15] 1/503 no 2657 dan sanadnya hasan. [16] Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam dalam irwa-ul ghalil (4/349). Dalam dalam silsilah ahadlits dla’ifah beliau mengisyaratkan bahwa penyebutan mimbar adalah lemah (2/380).